Rabu, 04 Maret 2009

IQRA’ DAN PERADABAN

Gemar Membaca
Terdapat empat pertanyaan besar yang harus diajukan sehubungan dengan penurunan surat al-‘alaq ayat 1-5 yang merupakan wahyu pertama kepada Rasul SAW. Pertama, kenapa digunakan lafal iqra’ untuk memerintahkan membaca, padahal di dalam tata bahasa Arab terdapat derivasi lain (seperti utlu/tilawah). Kedua, diperintahkan untuk membaca tetapi tidak ditemukan informasi mengenai obyek yang akan dijadikan bahan bacaan. Ketiga, kenapa perintah membaca perlu diulang sebanyak dua kali (ayat 1 dan 3). Keempat, kenapa ajaran Islam diperkenalkan pertama kali dengan iqra’ bukan hal-hal yang langsung tentang ajarannya.


Pertanyaaan pertama sangat berhubungam dengan khazanah kekayaan sastra bahasa Arab sebagai bahasa al-quran. Satu pengertian dalam bahasa Arab sering ditemukan dalam bentukan kata yang berbeda. Masing-masing bentukan itu memiliki makna yang juga berbeda. Hal inilah yang menjadi keunggulan bahasa Arab dari bahasa lainnya. Para ahi sastra dan bahasa menyatakan kalau anda akan mengarang dan ingin karya tersebut dibaca oleh masyarakat seratus bahkan seribu tahun lagi maka gunakanlah bahasa Arab. Buktinya, kitab-kitab klasik di berbagai bidang ilmu yang dikarang ratusan tahun yang lalu masih digunakan sebagai referensi oleh para pakar saat ini, disebabkan bahasanya tahan uji dengan perjalanan waktu, tetap kaya makna bila dikaji, menakjubkan!

Perintah membaca pada ayat tersebut menggunakan kata imperatif/amar (iqra’:bacalah olehmu) yang berasal dari akar kata qara’a. Bila dirujuk berbagai mu’jam/kamus bahasa, kata membaca yang berasal dari qara’a secara etimologi berarti mengumpulkan, karena proses yang dilakukan adalah mengumpulkan beberapa huruf lalu menjadi beberapa kata dan terangkai dalam untaian kalimat, setelah itu diucapkan. Berdasarkan pengertian mengumpulkna tersebut, perintah iqra mencakup makna yang sangat luas, yaitu: bacalah, pahamilah, tetilitilah, cermatilah, sampaikanlah, telaah-lah, dalami-lah, renungkanlah yang dilakukan secara tajam dan mendalam (Quraisy Syihab, 1992:168). Terjemahan “bacalah” daalam bahasa Indonesia sebenarnya “terlalu kurus” untuk memuat makna luas yang dimiliki kata “iqra’” tersebut

Dalam pengertian membaca lainnya juga digunakan kata tala-yatlu-tilawah. Pemakaian kata ini di dalam bahasa al-Quran bersifat khusus hanya kepada sesuatu yang sudah pasti, sesuatu yang benar dan bersumber dari Allah SWT. Seperti Q.S al-Baqarah:252, Q.S al-Maidah:27, menyatakan segala yang dibacakan (dengan akar kata tala-tilawah) adalah al-haq (informasi yang bersumber dari Allah SWT). Berbeda halnya dengan kata iqra’ digunakan untuk informasi yang bersumber dari Allah, manusia, alam, dan lainnya. Kata tala-tilawah juga digunakan untuk membaca sesuatu yang sudah pasti (kongkrit/teks) sedangkan kata qara’a-qiraah menjangkau pengertian yang sangat luas meliputi segala hal yang kongkrit dan abstrak, tajam dan mendalamdengan sasaran pemahaman terhadap berbagai hal. Di Indonesia dikenal musabaqah tilawatil quran bukan musabaqah qiraatil quran, karena kata qiraat sasarannya lebih luas dibandingkan tilawah.

Pertanyaan kedua, ayat tersebut memerintahkan iqra’ yang berarti bacalah, telitilah, pahamilah, cermatilah, dalamilah, akan tetapi tidak dijelaskan apa yang mesti dibaca dan dipahami (objek iqra’). Dalam kaidah bahasa apabila suatu rangkaian kalimat tidak tidak disebutkan objeknya, hanya disampaikan secara mutlak, berarti objeknya bersifat umum sejauh jangkauan kemutlakan “kata kunci”nya. Kata kunci yang dimaksud adalah “iqra” yang memiliki cakupan makna luas. Dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa objek iqra’ pada ayat tersebut sangat umum dan luas. (Abd.Rahman Dahlan, 1998:78)

Yang dijelaskan di dalam ayat hanya gambaran tentang cara membaca yaitu bismi rabbika (dengan nama Tuhanmu). Ada dua kesimpulan cara membaca dalam hal ini, pertama melakukan kegiatan iqra’ dengan ikhlash ingin menggapai redha Allah karena hakekat ilmu adalah milik-Nya, dan materi-materi iqra’ tidak boleh bertentangan dengan aturan dan norma Allah.

Dalam hal objek iqra’ ini, pakar tafsir Muhammad Abduh berpendapat bahwa objek yang harus dibaca adalah ayat-ayat Allah. Ayat-ayat Allah tersebut dapat dikategorikan dalam dua bentuk: pertama, ayat-ayat yang tertulis dan diturunkan yang dikenal dengan ayat munazzalah dan inilah wahyu yang diturunkan kepada Rasul berupa al-Quran dan Sunnah. Kedua, ayat-ayat yang tercipta yang dikenal dengan ayat kauniah berupa alam semesta serta segala isinya serta semua peristiwa yang terjadi di dalamnya. Dengan demikian setiap pencarian pemahaman dan penelitian teradap apa saja merupakan manifestasi perintah iqra yang dituju ayat. Tidak disebutkan objek dan batasan iqra’ mengisyaratkan betapa luasnya materi iqra’ yang sudah dipersiapkan Tuhan bagi manusia untuk dibedah dan digali setiap zaman.

Pertanyaan ketiga, berhubungan dengan perulangan perintah iqra’ sebanya dua kali ayat pertama dan ketiga yang memiliki keterkaitan yang erat. Pemahaman bahasa memberikan kesimpulan bahwa perulangan kata berarti menegaskan kata yang pertama atau menyatakan pengertian kata yang kedua berbeda dengan dengan yang pertama. Sehingga ayat ketiga dapat dipahami pengertiannya sebagai berikut: 1. teruslah membaca, niscaya Tuhanmu akan menganugerahkan ilmu pengetahuan yang selama ini belum pernah diketahui manusia, 2. bacalah, dan ulangilah membaca bacaan tersebut (walaupun objeknya sama), niscaya Tuhanmu akan memberikan anugrah-Nya dengan memberikan pemahaman yang baru yang belum diperoleh pada kegiatan iqra’ pertama. Benarlah pendapat filosof yang menyatakan bahwa orang yang selalu membaca ibarat minum air laut, semakin diminum akan semakin membuat kering kerongkongan karena semakin banyak membaca akan merasakan kekurangan diri yang tidak sebanding dengan luasnya ayat-ayat Allah di alam jagad raya ini.

Pertanyaan keempat, berhubungan dengan perkenalan Islam terhadap umatnya diawali dengan perintah iqra’ (telitilah, bacalah, pahamilajh, dan lainnya) bukan dengan prinsip atau pun ajaran-ajaran dogmatis. Tujuannya tidak lain adalah untuk menyentuh potensi-potensi yang dimilik oleh manusia seperti akal, kalbu, hawas (media indrawi) agar menemukan ayat-ayat Allah kapan dan dimanapun. Sehingga dengan penemuan pemahaman yang benar terhadap objek iqra’ tersebut akan menjadikan manusia mencari iman dan menerima Islam secara logis, argumentatif, kuat dan mendasar. Hal inilah yang dikhawatirkan oleh para pemikir di luar Islam bahwa apabila peradaban manusia makin maju maka konsep ajaran Islam akan semakin bersinar dan terbukti kebnenarannya. Beberapa tokoh cendikiawan abad modern ini telah menemukan pemahaman ayat-ayat Allah melalaui proses iqra’ tersebut, seperti Dr. Rosyad Khalifah, seorang doktor biokimia Mesir yang menetap di Amerika, Dr. Syauki al-Fataki, dokter di salah satu rumah sakit di kota Tokyo, Jepang, Dr. Murice Buchaille, ahli bedah di salah satu rumah sakit terebsar di kota Paris, Perancis (Syahminan Zaini, 1986:4-5). Pemahaman dan dan penelitian mendalam yang mereka lakukan berakhir dengan menemukan kebenaran Islam. Kemudian dengan Islam berbasis iqra’ yang selalu dikembangkan telah membawa ratusan ribu masyarakat lingkungan mereka juga memeluk agama Islam

Perintah iqra’ memberi isyarat bahwa masyarakat yang akan maju dan berkembang adalah masyarakat yang memiliki nilai baca yang tinggi terhadap berbagai hal. Tidak dapat dibantah bahwa masyarakat modern saat ini diawali dengan proses iqra’. Semakin banyak kegiatan iqra’ akan selalu meciptakan peradaban baru dan kemajuan, begitu pula sebaliknya semakin sedikit intensitas iqra’ akan membawa kemiskinan peradaban, sulit untuk maju dan lamban menggapai perkembangan.

Setelah ditinjau dari pengertian kata iqra’, objek kajiannya, pengulangan dalam redaksi ayat serta latar belakang pemilihan iqra’ sebagai ayat pertama turun, dapat disimpulkan, bahwa iqra’ adalah kata kunci untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan manusia menuju peradaban tinggi dan bermartabat. Sehingga tidak mengherankan apabila tuntutan pertama kepada umat Islam adalah iqra’, yang menyimpan dorongan kuat untuk menjadi umat terbaik dari segi peradaban, mulia dalam hal martabat, bertauhid dalam mengkaji ayat-ayat Ilahi. (Quraisy Syihab, 92:170-171)

Subhanallah..............

Tidak ada komentar: