Pesta demokrasi Pemilihan Presiden 2009 baru saja usai. Masyarakat yang telah berpartisipasi memberikan suaranya, antusias mengikuti setiap detik proses penghitungan suara. Partisipasi tersebut merupakan pelaksanaan hak sebagai warga negara yang baik. Tentunya dengan harapan hasil pemilu sesuai dengan aspirasi pilihan politik. Namun, di pihak lain ternyata tetap ada pemilih yang tidak memilih alias golput. Baik pemilih yang tercantum namanya dalam DPT, atau pemilih di luar DPT yang diberi peluang dengan menunjukkan KTP/passport.
Bila kita ingat fatwa MUI pada acara Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III pada 23-26 Januari 2009 lalu di Padang Panjang Sumatera Barat, golput menjadi salah satu agenda pembahasan. MUI berfatwa bahwa, "golput haram bila masih ada calon yang amanah dan imarah, apapun partainya,". Tentunya, dari fatwa ini, diharapkan akan mendorong umat Islam untuk menggunakan hak suaranya pada pemilu, dan meminimalkan terjadinya golput. Namun, secara realitas, golput tetap terjadi dalam pilpres apalagi pileg yang lalu. Pertanyaan yang muncul adalah, sejauh mana kekuatan mengikat dari fatwa MUI tersebut, serta bagaimana status hukum pemilih yang golput?
Sejak awal kemunculan fatwa golput tersebut, terjadi polemik di kalangan ahli hukum. Karena MUI dipandang menghasilkan 'blunder ijtihad' dalam sejarah perfatwaan MUI. Yang pro mengatakan golput adalah hak setiap warganegara, dan orang lain tidak usah mencampuri urusan pribadi orang lain. Sebaliknya yang kontra golput, mengatakan golput bukan warganegara yang baik, tidak nasionalis dan bahkan MUI berfatwa haram hukumnya.
Sejak awal kemunculan fatwa golput tersebut, terjadi polemik di kalangan ahli hukum. Karena MUI dipandang menghasilkan 'blunder ijtihad' dalam sejarah perfatwaan MUI. Yang pro mengatakan golput adalah hak setiap warganegara, dan orang lain tidak usah mencampuri urusan pribadi orang lain. Sebaliknya yang kontra golput, mengatakan golput bukan warganegara yang baik, tidak nasionalis dan bahkan MUI berfatwa haram hukumnya.
Munculnya polemik, karena fatwa tersebut memiliki ruang yang luas untuk diperdebatkan, antara lain tidak rincinya batasan golput , kemudian masalah kata “memilih” dalam UU Pemilu merupakan hak bukan kewajiban serta, tidak ditemukannya nash yang sharih yang mendasari hukum haram.
Perdebatan pertama, pengertian golput tidak dirinci secara spesifik. Golput bisa terjadi karena banyak alasan seperti: golput administratif, karena tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap; golput ideologis, karena tidak ada calon pemimpin yang berkualitas; golput ekonomis, karena harus mencari nafkah; golput politis, karena gerakan politik seperti antirezim otoriter yang mencalonkan lagi; golput karena sakit, malas, pesimis, apatis, tidak percaya janji-janji gombal para politisi, merasa tidak ada untungnya karena tidak ada perubahan yang signifikan, dll. Maka, keharaman golput, apakah mencakup semua alasan tersebut atau pada pengertian yang lebih khusus?
Perdebatan kedua, menurut undang-undang pemilu, menyebut secara jelas bahwa “memilih” merupakan “hak” bukan kewajiban. Bagaimana mungkin seorang yang tidak mengambil haknya akan dihukum. Artinya, dari sudut ilmu hukum, menghadiri pemilu bukanlah sebuah kewajiban, melainkan sebuah hak atau opsi. Dengan demikian, orang yang mengambil sikap golput tidak bisa dikatakan sebagai pelanggar hukum. Sanksi hukum baru muncul manakala terjadi pelanggaran hukum.
Perdebatan Ketiga, tidak ada nash sharih yang menunjukkan golput haram. Dalam sistematika hukum, fatwa berada pada kawasan ijtihad (pemikiran), dan sifatnya responsif situasional. Fatwa diperlukan manakala dibutuhkan jawaban hukum Islam atas sebuah situasi. Bahkan secara akademis memilih untuk golput juga menunjukkan indikasi “melek politik”, karena terjadinya bukan kebetulan tetapi sudah merupakan kesimpulan atau keputusan dengan kesadaran dari proses panjang. Bahkan muncul pertanyaan, kesuksesan demokrasi dinilai dari jumlah pemilih dalam pemilu atau meningkatnya kualitas kesadaran dan pemahaman masyarakat dengan politik? Atau serta merta keduanya?
Mengecilkan arti sebuah fatwa MUI tentunya juga merupakan sebuah sikap yang salah. Karena MUI merupakan institusi resmi yang diberi kewenangan menjawab persoalan hukum umat Islam Indonesia. Para ahli hukum agama di dalamnya bertanggungjawab tidak hanya secara horizontal (manusia) tetapi juga vertikal (Allah). Kalau MUI sendiri sudah dicurigai dan dianggap tidak kredibel, kemana lagi umat Islam menaruh kepercayaan mencari jawaban hukum.
Untuk memahami fatwa golput MUI, menurut penulis, tidak cukup hanya secara redaksional tekstual semata. Karena pemikiran tekstual akan memenjarakan keluasan makna sebuah redaksi. Tetapi, perlu diselami aspek-aspek filosofis yang mengantarkan kemunculan fatwa tersebut. Dalam fatwa dinyatakan "golput haram bila masih ada calon yang amanah dan imarah”. Terdapat kata kunci “bila masih ada”, yang merupakan syarat hukum haram. Artinya, bila syarat tersebut ada maka dilarang golput, dan sebaliknya, bila syarat tidak ada, artinya tidak ada calon yang memenuhi syarat amanah dan imarah, maka terbuka peluang golput.
Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa haram, manakala ada calon yang amanah dan imarah? Terdapat beberapa alasan kenapa dilarang golput. Pertama, terkait dengan nasib umat Islam, diperlukan calon yang akan memperjuangkan politik dan kepentingan umat Islam Indonesia. Bisa dibayangkan umat Islam yang mayoritas di Indonesia, tetapi kepentingannya tidak terakomodir sebab tidak mempunyai wakalah (keterwakilan politik). Kedua, bila umat Islam tidak memilih (apriori), tentunya orang lain-lah yang akan menentukan nasib umat Islam. Maka umat Islam harus rela menerima petuah “cupak diganti urang manggaleh, jalan dialiah urang lalu, tapian diasak uang mandi”. Ketiga, agama dan negara adalah harmonisasi kesatuan yang semakin hari harus diperkuat. Indonesia adalah negara muslim bukan negara Islam.. Akan tetapi agama dan negara merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Masyarakat mengamalkan hukum agama dan negara mempositifkannya menjadi hukum negara. Sudah banyak contoh hukum agama menjadi hukum positif negara di Indonesia, misalnya Kompilasi Hukum Islam Indonesia, UU Perkawinan, UU pengelolaan zakat, UU ekonomi syari’ah. Bahkan pidana Islam sudah masuk ke DPR untuk dibahas menjadi undang-undang. Tentunya yang akan mengambil peluang hukum agama menjadi hukum negara tersebut, harus masuk dalam mekanisme politik seperti pemilu.
Dapat disimpulkan, jika umat Islam golput sementara ada calon amanah dan imarah, tentunya merugikan umat Islam sendiri untuk jangka panjang. Sedangkan prinsip syariah ditegakkan untuk “dar-ul mafasid wa-jalbul mashalih” (menolak kejelekan dan mengambil kebaikan). Maka, hukum golput haram dapat diistinbathkan melalui metode hukum sadd-al-zari’ah (menutup peluang kebinasaan). Segala yang mengantarkan kepada yang kejelekan lebih besar, maka dilarang oleh agama (ma yatawassalu ilal haram fahuwa haram).
Namun perlu dipahami, bahwa fatwa tidak bersifat mengikat karena fungsinya adalah menjawab kebutuhan hukum atas sebuah kasus, tetapi dapat dijadikan rujukan hukum bagi umat Islam. Manakala masih terdapat pemilih golput memang tidak bisa disebut melanggar hukum, tetapi akan berakibat besar kepada nasib umat Islam masa depan. Keharaman yang dimaksud lebih merupakan akibat yang ditimbulkan golput.
Pro dan kontra fatwa, juga disebabkan suu-zan kepada lembaga MUI, karena MUI sudah berani memasuki ranah politik. Selama ini dipahami banyak pihak bahwa kawasan MUI hanya terkait dengan fatwa hukum-hukum ibadah ritual saja. MUI juga dituduh bertujuan politis untuk mendongkrak suara umat Islam unuk mendukung calon tertentu, atau partai-partai Islam. Terlepas dari semua itu, menurut penulis saat ini sedang terjadi perkembangan hukum Islam di Indonesia, dalam hal ini hukum siyasah (politik Islam). Karena reformasi membuka peluang dapatnya diaplikasikan prinsip-prinsip politik yang berwawasan Islam. Sehingga, dibutuhkan peran serta lembaga hukum termasuk MUI untuk mengawal pelaksanaan fiqih siyasah (politik) umat Islam. Seperti persoalan hukum mengangkat perempuan menjadi pemimpin, hukum mendirikan partai-partai Islam, melembagakan hukum Islam menjadi hukum positif, hingga hukum golput.
Fatwa haramnya golput, merupakan sebuah kemajuan kajian MUI, yang merespon persoalan kontekstual kebutuhan umat dalam berpolitik. Bahkan fatwa golput bersifat responsif antisipatif, menjangkau efek jangka panjang kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Golput tidak akan bermasalah manakala tidak ada calon terbaik, tetapi perlu ada fatwa ketika banyak calon (yang diharapkan terbaik).
Terbit di Koran Ganto UNP Agustus 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar