Rabu, 04 Maret 2009

Kenapa Shalat Tidak Berbuah

Pendidikan shalat
Prinsip hukum dalam Islam menegaskan, bahwa ajaran agama (syari’at) memberikan nilai (value) dan pengaruh (effect) dalam kehidupan. Baik secara mikro kepada pribadi yang melaksanakannya, maupun secara makro, berupa interkasi individu dalam lingkup sosial yang lebih luas. Munculnya nilai dan pengaruh, merupakan indikator kesuksesan melaksanakan aktifitas agama, bila tidak muncul nilai dan pengaruh juga merupakan indikator kegagalan menfungsikan syariat agama. Hal ini berlaku untuk setiap ajaran agama Islam.


Shalat sebagai ajaran utama dalam Islam, kaya dengan nilai dan pengaruh. Terutama memuat fungsi pendidikan dalam kehidupan nyata seorang muslim. Bila shalat dipahami sebagai media pendidikan, maka hasil dan pengaruh shalat akan menciptakan karakter insan terdidik di luar shalat. Hal ini dipahami dari penjelasan ayat-ayat al-Quran dan Sunnah Rasul SAW. Sesuai dengan sabda Rasul SAW: “Shalat merupakan tiang agama (sesorang), siapa yang mendirikan shalat berarti (bangunan) agamanya kokoh, siapa yang meninggalkan shalat berarti (bangunan) agamanya roboh.

Rasul SAW menjelaskan bahwa shalat merupakan indikator dari kekuatan agama sesorang. Bila shalatnya baik dapat diyakini bahwa beragamanya juga baik dan kokoh. Namun bila shalat seseorang tidak terpelihara (ditinggalkan) juga merupakan indikator kekuatan beragamanya keropos dan hancur. Maka shalat dalam hal ini menjadi alat ukur yang memberi gambaran keberhasilan dan kekuatan beragama seseorang baik secara dogmatis maupun implementatif. Sederhananya, bila ingin menilai agama seseorang lihatlah dari pelaksanaan shalatnya, bila baik maka agamanya dijamin baik dan bila jelek agamanya berarti jelek.


Buah Shalat

Memahami eksistensi shalat sebagai simbol tonggak agama di dalam Islam, tentunya memberi penguatan terhadap bangunan agama. Bila tonggak sebuah bangunan kuat dan kokoh dengan adukan semen dan pasir yang mencukupi, akan dihasilkan bangunan besar dan menjulang tinggi. Tetapi bila tonggak goyah dan kecil bangunan yang dihasilkan pun juga goyah dan terbatas.

Dalam kenyataannya, kenapa shalat telah dilaksanakan tetapi tidak memberikan nilai dan pengaruh dalam beragama terutama pendidikan kepribadian dan sosial? Pertanyaan ini menggugah sense of religi kita semua, dalam rangka mengukur keberhasilan diri, untuk menjadikan agama bernilai fungsional dalam kehidupan dan bukan sebatas legalitas dan kepatuhan dogmatif un sich.

Fenomena realitas yang ada di sekitar kita menjadi bukti miskinnya nilai dan pengaruh tersebut. Kenapa di negeri mayoritas muslim (yang melaksanakan shalat) ini, namun tingkat korupsi terbesar di dunia? Kenapa shalat terus dilakukan tetapi sogok menyogok menjadi budaya yang dipertahankan? Kenapa situasi sosial kita didominasi dengan pembunuhan, pemerkosaan, gantung diri, kekerasan yang tak kunjung henti, bahkan cendrung berulang-ulang? apakah ini fakta bahwa syariat shalat tidak memberi buah dan arti apa-apa? Kenapa pendidikan shalat tidak berbanding lurus dengan nilai aplikatif di luar shalat.

Apakah persoalannya bersumber dari syariat shalat, atau metode melaksanakan shalat atau subyek (manusia) yang shalat. Kalau syariat shalat mustahil menjadi alasan penyebab, karena berasal dari Allah sang Mudabbir (Penata terbaik). Kemungkinan persoalannya berada pada aspek kesalahan metode melaksanakan shalat dan unsur manusia yang melaksanakan shalat.

Upaya mencari penyelesaiannya dapat dilakukan kajian dua arah, teoritik dan aplikatif. Secara teori dibutuhkan pemahaman nilai substansi yang dihasilkan oleh shalat. Secara aplikasi diperlukan metode menjadikan shalat yang dilakukan bernilai positif. Kedua pendekatan logika ini akan memberikan pandangan yang holistik dan korelatif, antara nilai syariat shalat secara konseptual terhadap implementasi dalam kehidupan nyata.

Secara teoritik shalat sukses menghasilkan nilai dan pendidikan:
Pertama, shalat membentengi diri dari fahsya’ dan mungkar (Q.S. al-Angkabut: 45)
Fahsya’ dipahami dengan perbuatan keji yang melanggar moral kemanusiaan sedangkan mungkar merupakan pelanggaran terhadap aturan-aturan yang telah ada/pasti. Artinya shalat yang sukses akan membuat karakter manusia yang taat hukum, prilaku benar serta terpelihara dari berbagai sikap negatif. Sebaliknya bila karakter fahsya’ dan mungkar tetap ada, berarti shalat yang dilakukan tidak berbuah.

Kedua, Shalat menentramkan jiwa (Q.S. Thaha:41)
Shalat hakekatnya zikrullah (hubungan langsung dengan Allah). Indikator shalat sukses ditandai dengan ketentraman hati dan jiwa. Karena di luar shalat tetap merasakan kehadiran Allah dalam setiap langkah hidup yang dijalani. Sehingga profesi yang dibina, jabatan yang diemban, pilihan-pilihan hidup serta penyelesaian masalah selalu dalam garisan bimbingan Allah. Sebaliknya, jiwa yang resah merupakan indikator shalat yang tidak berbuah.

Ketiga, Shalat menghilangkan stress dan beban kepelikan hidup (al-Ma’arij: 19-20).
Manusia secara fitrah memiliki karakter suka mengeluh, kikir dan bakhil. Sikap-sikap ini simbol dari ketidakmampuan mendidik diri untuk menerima berbagai realita. Lemahnya daya juang, keraguan terhadap karunia Tuhan serta kegalauan dengan berbagai tantangan dan ujian hidup.

Pada konsep psikologi, hal ini merupakan gangguan jiwa dan mental yang dapat memuncak pada titik kronis menjadi stress dan kehilangan kendali. Allah mengingatkan bahwa orang yang shalat tidak akan mendapatkan gangguan ini, karena komunikasi harmonis shalat dengan Allah berlangsung secara simultan. Segala pengaduan dan permohonan akan tercurahkan tuntas. Artinya shalat yang sukses menjauhkan manusia dari ketegangan dan beban psiko. Namun bila stress dan beban hidup selalui mengiringi jiwa manusia, bisa dipastikan walau shalat dilaksanakan tetapi bukan shalat yang berbuah.

Dapat disimpulkan bahwa shalat secara tuntutan kewajiban agama sudah terpenuhi dengan melaksanakannya. Namun perlu ditingkatkan dengan ukuran bahwa shalat harus menghasilkan nilai dan pengaruh pendidikan. Untuk mandapatkan hasil dimaksud dibutuhkan metode-metode yang efektif.

Menjadikan Shalat Berbuah.

Untuk memperoleh shalat yang bernilai aplikatif dan pendidikan, agama mengajarkan metode khusyu’ (Q.S.Al-baqarah:45-46-47). Metode tersebut merupakan prosedur guna mencapai tujuan-tujuan shalat.
Beberapa unsur penting khusyu’ tersebut dikembangkan oleh ulama:

1. Laksanakan shalat dengan baik dan benar.
Shalat merupakan ibadah khusus yang tata aturan pelaksanaannya bersifat tauqif (tetap) dari Allah dan Rasul. Maka shalat yang baik berarti dilakukan secara sempurna dan benar diartikan sesuai dengan petunjuk agama yang tauqif tersebut. Tiga rukun shalat yang harus baik dan benar adalah hati (qalbi), gerak(fi’ly), ucapan(Qauly). Terpenuhinya ketiga unsur ini akan mengantarkan shalat yang berbuah. Kekurangan atau kesalahan dalam ketiga rukun ini menjadikan shalat tidak berpengaruh.

Khususnya harus diperhatikan dari rukun qauly, karena bahasa Arab memiliki karakteristik yang berbeda dari bahasa lainnya. Bertambah, serta berubah huruf dan baris menjadikan pengertiannya jauh melenceng. Maka memperbaiki kualitas tata cara pengerjaan setiap waktu merupakan kunci mendapatkan shalat yang berbuah.

2. Memahami setiap apa yang dibaca.
Shalat menjadi media komunikasi langsung seorang hamba dengan Allah. Begitu banyak permintaan, pengakuan dan penegasan yang disampaikan kepada sang Khalik. Shalat yang memahami semua yang dibaca tentunya menjadi komunkasi dialogis efektif yang bernilai. Seperti do’a iftitah berisi pengakuan tujuan hidup kita hanyalah kepada Allah. Al-Fatihah berisi muatan keyakinan, kepasrahan dan permohonan petunjuk. Doa duduk antara dua sujud berisi permintaan belas kasihan dari Allah dengan berbagai kelamahan diri.

Pemahaman dengan apa yang dibaca menjadi buah positif usai shalat dikerjakan. Agama melarang orang yang berbuat, mendengar, melihat, berbicara tanpa didasari ilmu Karena setiap apa pun yang dilakukan manusia akan dimintakan pertanggungjawabannya.

3. Menghayati nilai-nilai dari setiap rangkaian shalat
Semua rangkaian shalat menyimpan banyak nilai pendidikan. Tentunya bagi yang mampu menghayati dan menyelami hakekat pelaksanaannya. Bila ini diperoleh maka shalat memberikan buah pendidikan berharga dalam kehidupan. Seperti berdiri, ruku’ dan sujud yang diulang-ulang setiap rakaat. Hal ini mengingatkan manusia bahwa hidupnya sangat pendek waktunya, tidak lebih dari berdiri (muda), ruku’ (tua) dan sujud (mati). Sujud dengan mencium tempat sujud (tanah), mengisyaratkan rendahnya manusia dibandingkan Allah, maka usai shalat berbuah dengan sikap rendah hati.

Penutup.
Shalat merupakan ibadah utama yang memberi nilai dan pengaruh pendidikan bagi setiap muslim dalam hidupnya. Pertanyaan untuk diri: “Selama ini saya shalat, sudahkan berbuah dengan nilai pendidikan diri atau masih tingkat rendah sekedar lepas utang dan kewajiban?” Mari merenung untuk cerdas dengan tujuan Ilahi...



Dimuat pada majalah kampus GANTO UNP, 2010
Disampaikan dalam cermaha pendidikan Disdikpora Sumbar 2010

Tidak ada komentar: