Nama Ahmadiyah pada awalnya dihubungkan dengan nama Rasulullah SAW, yaitu Ahmad (yang terpuji). Gerakan ini bertujuan mengembalikan profil terpuji dari Muhammad tersebut pada situasi sekarang (gerakan ahmady). Misi yang dilakukan adalah yuhyiddiyna wayuqiymus-syariat yaitu menghidupkan kembali agama Islam, dan menegakkan kembali syariat qur'aniah. Pada akhirnya menjadi nama kelompok yang disebut Ahmadiyah (Bashiruddin Mahmud Ahmad, 1989:.2).
Gerakan ini didirikan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1889 di Qadhian, India. Mirza lahir tahun 1835, dari riwayat hidupnya menunjukkan, bahwa Mirza memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menguasai berbagai disiplin ilmu, dari banyak guru sekalipun tidak pernah bersentuhan dengan dunia pendidikan formal. Antara lain al-quran, sunnah, manthiq (logika), filsafat, tata bahasa Arab serta keahlian pengobatan (tabib).
Kondisi Islam pada masa Mirza sangat menyedihkan. Gerakan kristenisasi sedang gencar-gencarnya berjalan di India dan menarik ratusan ribu orang masuk ke dalam agama Kristen. Disamping itu, pihak Hindu menyerang juga Islam, al-quran dan kesucian Nabi Muhammad SAW. Kondisi inilah yang banyak mewarnai kehidupan awal Mirza Ghulam Ahmad. Mirza banyak menelaah literatur-literatur yang berkaitan dengan agama-agama tersebut dan secara personal terlibat dalam upaya-upaya untuk membela Islam dari serangan-serangan di kedua arah tersebut. Disamping itu secara pribadi Mirza mengalami proses perkembangan rohaniah yang luar biasa.
Kiprahnya sangat banyak seperti penulis aktif dalam berbagai surat kabar, menulis buku, dan aktif dalam berbagai perdebatan agama. Hasilnya menyentakkan kesadaran umat Islam India. Pada akhirnya banyak yang mengikuti Mirza Ghulam Ahmad, baik sebagai pendukung, murid, atau pun simpatisan. Hal ini mempertegas posisi Mirza Ghulam Ahmad sebagai tokoh pembaharu Islam di India sekaligus pembela terhadap ajaran Islam. Reaksi puncak masyarakat, meminta Mirza agar menerima bai'at dari kalangan umat Islam yang berkeinginan untuk menjadi muridnya. Pada akhir tahun 1888 dia menyebarkan undangan untuk bai'at, yang ditujukan kepada para pencari kebenaran. Pengambilan bai'at yang pertama berlangsung di Ludhiana pada tanggal 23 Maret 1889. Pada bai'at pertama ini, sebanyak 40 orang menyatakan ikrar bai'at mereka. Inilah yang dinyatakan sebagai peletakan fondasi pertama dari Jemaat Ahmadiyah.
Selanjutnya, perjalanan kehidupan rohani Mirza Ghulam Ahmad mengalami proses yang amat dahsyat melebihi batas kemampuan manusia biasa. Sampai akhirnya, tahun tahun 1901 Mirza Ghulam Ahmad memperjelas pernyataan bahwa dirinya sebagai nabi zilli (bayangan) dan ummati (selaku umat Nabi Muahammad SAW), berkat mengikuti dan mematuhi sepenuhnya syariat dan sunnah Rasulullah SAW. Dia menerima wahyu dari Allah SWT yang dituliskannya dalam berbagai karyanya. Akhir hidupnya Mirza Ghulam Ahmad wafat di Lahore pada tanggal 26 Mei 1908, dan jenazahnya dibawa ke Qadian dan dikebumikan disana.
Sepeninggal Mirza Ghulam Ahmad kelompok Ahmadiah menjadi besar, dan dipipimpin oleh anak-anaknya, yang dinobatkan sebagai khalifah. Khalifah berperan sebagai pemimpin sekaligus melakukan bai'ah terhadap para pengikut ajaran tersebut. Di samping itu karya Mirza Ghulam Ahmad yang cukup banyak, menjadi referensi yang dapat dipahami dan digali sepanjang waktu oleh para pengikutnya.
Ahmadiyah berkembang ke berbagai negara di dunia termasuk ke Indonesia. Khusus di Indonesia perkembangannya dibawa oleh para pelajar Indonesia yang mengikuti bai'ah dan pendidikan di Qadian lalu mengembangkan ajaran tersebut di Indonesia. Perkembangan lainnya melalui pengiriman para muballigh dan guru Ahmadiyah Qadian ke Indonesia. Tahun 1926 dinyatakan sebagai titik pesatnya perkembangan Ahmadiyah yaitu di Padang, Sumatera Barat, setelah sebelumnya Ahmadiyah berkembang di Tapak tuan Aceh, dan pusatnya di Jakarta setelah berkembang di Padang.
Periode 1990-an menjadi periode perkembangan pesat Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Perkembangan itu menjadi lebih cepat setelah Hadhrat Khalifatul Masih IV atba, Hadhrat Tahir Ahmad, mencanangkan program baiat internasional dan mendirikan Moslem Television Ahmadiyya (MTA). Tahun 2000 Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, hadhrat khalifatul masih ke-4 datang ke Indonesia, dalam acara Ijtima Lajnah Imaillah Indonesia yang juga dihadiri Menteri Negeri Pemberdayaan Wanita. (www.ahmadiyyah:75 tahun Ahmadiyah)
Perbedaaan Ahmadiyah dan Islam
Terdapat dua ajaran utama keimanan yang menjadi perbedaan antara umat Islam dengan kaum ahmadiyah, yaitu: pertama, keyakinan tentang status kenabian Mirza Ghulam Ahmad sehingga mereka menambahkan sebutan 'alaihis salam. Kedua, Mirza Ghulan Ahmad diyakini menerima wahyu dari Allah SWT sehingga karya-karyanya dianggap sebagai kitab suci yang berisi wahyu. Kitab utama yang dianggap banyak memuat wahyu tersebut berjudul tazkirah.
Dasar hukum Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi adalah al-Quran dan Sunnah. Seperti memahami ayat "Huwallazii arsala rasulahuu bilhudaa wa diinilhaqqi, liyuzh-hirahuu alad-diini kullihi walaw karihal-musyrikuwn. ("Dialah [Allah] yang mengirimkan Rasul-Nya dengan petunjuk dan dengan agama yang benar supaya Dia menyebabkannya menang atas semua agama, betapapun orang-orang musyrik tidak akan menyukai".Q.S. As-Shaf:10). Ayat ini mengisyaratkan pada kemenangan Islam atas seluruh agama lainnya berdasarkan ajaran tauhid. Sebab dengan tauhid-lah seluruh umat manusia bersatu, karena tauhid merupakan ruhnya Islam. Kesempurnaan syariat Islam telah terjadi di masa dan di tangan Rasulullah SAW, empat belas abad yang silam. Namun menurut pemahaman Ahmadiyah kesempurnaan penyebaran syariat Islam, seperti yang diisyaratkan oleh Allah Ta'ala dan Rasulullah SAW, adalah pada masa dan di tangan tokoh yang dijanjikan sebagai masih mau'ud dan imam Mahdi, yaitu Mirza Ghulam Ahmad.
Ayat lainnya, "Huwallazii ba'atsa fil-ummiyyina rasulanm-minhum yatluw alaiihim aayaatihii wayuzakkiihim wayu'allimuhumul-kitaaba wal-hikmah, wain kaanuw min-qoblu lafii dholalinm-mubiin. Wa'aakhoriina minhum lammaa yalhaqquw bihim wahuwal-aziizul hakiim". ("Dialah [Allah] yang telah mengutus di tengah-tengah bangsa yang buta huruf seorang Rasul dari antara mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah, walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata. Dan Dia akan membangkitkannya di tengah-tengah suatu golongan lain dari antara mereka, yang belum pernah bergabung dengan mereka. Dan, Dia-lah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana." (Q.S.Al-Jumu'ah:3-4).
Ayat ini mengisyaratkan pada kebangkitan rohaniah Rasulullah SAW (the second spiritual advent) dalam wujud seseorang yang menyatu sepenuhnya dengan beliau. Juga merupakan cerminan rohaniah atau bayangan sempurna dari Rasulullah SAW, namun belum pernah tergabung dalam para pengikut semasa beliau hidup. Isyarat di dalam ayat ini dan di dalam hadis Nabi SAW, yang termasyhur diutusnya Rasulullah SAW sendiri untuk kedua kali dalam wujud masih mau'ud di akhir zaman, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. (www.ahmadiyyah:latar belakang berdirinya ahmadiyyah)
Keyakinan pengikut Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dipertegas dengan pengakuan Mirza sendiri. Pada tahun 1879 Mirza Ghulam Ahmad menulis buku Braheen Ahmadiyya, di dalamnya ditegaskan bahwa ia menerima wahyu dari Tuhan:"Kamu itu nabi, kamu itu nabi!" dan diperintahkan mengambil bai'at" (halaman 70). Ia pernah menyatakan bahwa "Akulah (Mirza Ghulam) yang dimaksud dalam firman Allah: 'Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (Q.S al-Anbiyak:107). Setelah Mirza meninggal, anaknya (Basyir Ahmad) melanjutkan pengakuan-pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, seperti memahami ayat, "...Dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, namanya Ahmad" (Q.S al-Shaf:6). Karena Nabi Allah bernama Muhammad dan bukanlah Ahmad maka yang dimaksud ayat tersebut adalah Mirza Ghulam Ahmad yang menjadi Rasul setelah Muhammad SAW.
Sekalipun kelompok Ahmadiyah membela diri terhadap kesamaan ajarannya dengan ajaran Islam namun interpretasi mereka sebenarnya berbeda. Misalnya bacaan syahadat "Asyhadu anlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah" dipahami sebagai "Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan (Mirza Ghulam Ahmad) adalah juga Muhammad dan Rasul Allah". Pengakuan kesamaan Muhammad dengan dirinya ini ditegaskan Mirza Ghulam Ahmad dalam bukunya (Memperbaiki Kesalahan [terjmh]:1993): " Allah SWT telah memberikan nama Muhammad dan Ahmad kepadaku, dan menyatakan aku wujud beliau juga" (h.16-17), "...Dalam hal ini wujudku tidak ada, yang ada hanyalah Muhammad SAW, dan itulah sebabnya aku dinamakan Muhammad dan Ahmad (h.25). "Aku adalah penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad SAW dan aku adalah Muhammad dan Ahmad sebagai refleksi (DDII:2008 tentang Tazkirah: Hakikatul Wahyu, h. 72)
Keyakinan kedua kelompok Ahmadiyah, bahwa Mirza Ghulam Ahmad menerima wahyu dari Allah, yang banyak termuat dalam bukunya tazkirah. Dalam lembaran asli kitab tersebut diawali dengan tadzkirah ya'ni wahyu muqaddas, artinya tadzkirah adalah wahyu yang suci. Mirza Ghulam berkata: "Maka barangsiapa yang tidak percaya pada wahyu yang diterima oleh imam yang dijanjikan (Ghulam Ahmad), maka sungguh ia telah sesat luar biasa, dan ia akan mati dalam kematian jahiliyah, dan ia mengutamakan keraguan atas keyakinan"
Interpretasi Ahmadiyah tersebut bertentangan dengan dalil-dalil yang kuat dalam agama Islam. Muhammad SAW merupakan nabi terakhir dan penutup, telah ditegaskan dengan sabdanya: "Tidak akan terjadi kiamat sehingga muncul tiga puluh dajjal (pendusta); semuanya mengaku bahwa dirinya adalah utusan Allah, aku adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi lagi sesudahku (H.R Abu daud dan Tirmidzi). Sedangkan kitab Tadzkirah sebenarnya berisi pengalaman spritual seorang manusia yang mencari kebenaran hakiki dalam hidupnya. Pengalaman-pengalaman ini dituliskan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Ternyata hasil lembaran tulisan ini dikumpulkan dan dibukukan oleh pengikutnya tahun 1935 (jarak 27 tahun setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal dunia tahun 1908). (Inilah Ahmadiyyah:Dewan Dakwah Islamiyah Indnesia:2008).
Fatwa Pelarangan vs Pelanggaran HAM
MUI dalam rakernas November 2007 menetapkan salah satu kriteria aliran sesat adalah "mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi yang terakhir. Dengan kriteria ini maka MUI mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah termasuk ke dalam aliran sesat, sebab mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi. Ahmadiyah juga mempunyai kitab suci sendiri di samping al-quran, yaitu Tazkirah, yang isinya banyak berupa "pelintiran" dari ayat-ayat al-Quran. Fatwa seperti ini juga pernah dikeluarkan MUI tahun 1980 dan 2005 yang menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Keresahan MUI ini juga didasari dengan statemen Khalifah Ahmadiyah ke-4 yang berkunjung ke Indonesia tahuan 2000, yang menyatakan bahwa, "Indonesia pada akhir abad baru ini akan menjadi negara Ahmadiyah terbesar di dunia. (DDII:2008). Dunia internasional pun sebenarnya juga mengecam aliran Ahmadiyah dengan larangan memasuki tanah haram dan tidak boleh melaksanakan ibadah haji ke Baitullah (MetroTV, 19 April 2008).
Pertengahan April 2008, melalui rekomendasi Bekorpakem (Badan Kordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) meminta agar dibuat surat keputusan bersama antara Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri agar memberi peringatan keras dan menghentikan aliran kepercayaan ini, yang nantinya menjadi pertimbangan kepada Presiden Republik Indonesia membubarkan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi aliran terlarang. Mekanisme seperti ini tercantum dalam UU PNPS (Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama) tahun 1965 pasal 1 dan 2.
Menggunakan isu Hak Asasi Manusia (HAM), serta menuntut pembubaran Bakorpakem serta Majelis Ulama Indonesia sebenarnya sebuah kesalahan. Karena lembaga MUI dan Bakorpakem berperan sebagai lembaga dalam sebuah sistem yang menjaga kualitas beragama masyarakat Indonesia. Universalitas HAM disandarkan kepada standar nilai, maka tidak boleh pula menghancurkan standar nilai yang sama pada sistem pemeliharaan kesuciaan suatu agama. Ajaran Islam memiliki standar kesucian yang tertuju pada enam rukun iman dan lima rukun Islam. Standar ini menjadi keyakinan teguh sebagai prinsip beragama yang didasarkan kepada wahyu yang suci. Membandingkan standar kesucian beragama tersebut dengan standar nilai HAM jelas tidak sebanding. Menggunakan dalih berbedanya penafsiran, tetapi sama dari substansi, tidak bisa dibenarkan. Karena hak penafsiran hanya berlaku dalam kawasan zanni dalalah (dalil yang masih meragukan), dan tidak berlaku dalam kawasan qath'i dalalah (petunjuk yang telah pasti). Eksistensi Muhammad sebagai nabi terakhir, dan tidak ada manusia yang mendapatkan wahyu kecuali nabi adalah qath'i dalalah.
Gerakan ini didirikan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1889 di Qadhian, India. Mirza lahir tahun 1835, dari riwayat hidupnya menunjukkan, bahwa Mirza memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menguasai berbagai disiplin ilmu, dari banyak guru sekalipun tidak pernah bersentuhan dengan dunia pendidikan formal. Antara lain al-quran, sunnah, manthiq (logika), filsafat, tata bahasa Arab serta keahlian pengobatan (tabib).
Kondisi Islam pada masa Mirza sangat menyedihkan. Gerakan kristenisasi sedang gencar-gencarnya berjalan di India dan menarik ratusan ribu orang masuk ke dalam agama Kristen. Disamping itu, pihak Hindu menyerang juga Islam, al-quran dan kesucian Nabi Muhammad SAW. Kondisi inilah yang banyak mewarnai kehidupan awal Mirza Ghulam Ahmad. Mirza banyak menelaah literatur-literatur yang berkaitan dengan agama-agama tersebut dan secara personal terlibat dalam upaya-upaya untuk membela Islam dari serangan-serangan di kedua arah tersebut. Disamping itu secara pribadi Mirza mengalami proses perkembangan rohaniah yang luar biasa.
Kiprahnya sangat banyak seperti penulis aktif dalam berbagai surat kabar, menulis buku, dan aktif dalam berbagai perdebatan agama. Hasilnya menyentakkan kesadaran umat Islam India. Pada akhirnya banyak yang mengikuti Mirza Ghulam Ahmad, baik sebagai pendukung, murid, atau pun simpatisan. Hal ini mempertegas posisi Mirza Ghulam Ahmad sebagai tokoh pembaharu Islam di India sekaligus pembela terhadap ajaran Islam. Reaksi puncak masyarakat, meminta Mirza agar menerima bai'at dari kalangan umat Islam yang berkeinginan untuk menjadi muridnya. Pada akhir tahun 1888 dia menyebarkan undangan untuk bai'at, yang ditujukan kepada para pencari kebenaran. Pengambilan bai'at yang pertama berlangsung di Ludhiana pada tanggal 23 Maret 1889. Pada bai'at pertama ini, sebanyak 40 orang menyatakan ikrar bai'at mereka. Inilah yang dinyatakan sebagai peletakan fondasi pertama dari Jemaat Ahmadiyah.
Selanjutnya, perjalanan kehidupan rohani Mirza Ghulam Ahmad mengalami proses yang amat dahsyat melebihi batas kemampuan manusia biasa. Sampai akhirnya, tahun tahun 1901 Mirza Ghulam Ahmad memperjelas pernyataan bahwa dirinya sebagai nabi zilli (bayangan) dan ummati (selaku umat Nabi Muahammad SAW), berkat mengikuti dan mematuhi sepenuhnya syariat dan sunnah Rasulullah SAW. Dia menerima wahyu dari Allah SWT yang dituliskannya dalam berbagai karyanya. Akhir hidupnya Mirza Ghulam Ahmad wafat di Lahore pada tanggal 26 Mei 1908, dan jenazahnya dibawa ke Qadian dan dikebumikan disana.
Sepeninggal Mirza Ghulam Ahmad kelompok Ahmadiah menjadi besar, dan dipipimpin oleh anak-anaknya, yang dinobatkan sebagai khalifah. Khalifah berperan sebagai pemimpin sekaligus melakukan bai'ah terhadap para pengikut ajaran tersebut. Di samping itu karya Mirza Ghulam Ahmad yang cukup banyak, menjadi referensi yang dapat dipahami dan digali sepanjang waktu oleh para pengikutnya.
Ahmadiyah berkembang ke berbagai negara di dunia termasuk ke Indonesia. Khusus di Indonesia perkembangannya dibawa oleh para pelajar Indonesia yang mengikuti bai'ah dan pendidikan di Qadian lalu mengembangkan ajaran tersebut di Indonesia. Perkembangan lainnya melalui pengiriman para muballigh dan guru Ahmadiyah Qadian ke Indonesia. Tahun 1926 dinyatakan sebagai titik pesatnya perkembangan Ahmadiyah yaitu di Padang, Sumatera Barat, setelah sebelumnya Ahmadiyah berkembang di Tapak tuan Aceh, dan pusatnya di Jakarta setelah berkembang di Padang.
Periode 1990-an menjadi periode perkembangan pesat Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Perkembangan itu menjadi lebih cepat setelah Hadhrat Khalifatul Masih IV atba, Hadhrat Tahir Ahmad, mencanangkan program baiat internasional dan mendirikan Moslem Television Ahmadiyya (MTA). Tahun 2000 Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, hadhrat khalifatul masih ke-4 datang ke Indonesia, dalam acara Ijtima Lajnah Imaillah Indonesia yang juga dihadiri Menteri Negeri Pemberdayaan Wanita. (www.ahmadiyyah:75 tahun Ahmadiyah)
Perbedaaan Ahmadiyah dan Islam
Terdapat dua ajaran utama keimanan yang menjadi perbedaan antara umat Islam dengan kaum ahmadiyah, yaitu: pertama, keyakinan tentang status kenabian Mirza Ghulam Ahmad sehingga mereka menambahkan sebutan 'alaihis salam. Kedua, Mirza Ghulan Ahmad diyakini menerima wahyu dari Allah SWT sehingga karya-karyanya dianggap sebagai kitab suci yang berisi wahyu. Kitab utama yang dianggap banyak memuat wahyu tersebut berjudul tazkirah.
Dasar hukum Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi adalah al-Quran dan Sunnah. Seperti memahami ayat "Huwallazii arsala rasulahuu bilhudaa wa diinilhaqqi, liyuzh-hirahuu alad-diini kullihi walaw karihal-musyrikuwn. ("Dialah [Allah] yang mengirimkan Rasul-Nya dengan petunjuk dan dengan agama yang benar supaya Dia menyebabkannya menang atas semua agama, betapapun orang-orang musyrik tidak akan menyukai".Q.S. As-Shaf:10). Ayat ini mengisyaratkan pada kemenangan Islam atas seluruh agama lainnya berdasarkan ajaran tauhid. Sebab dengan tauhid-lah seluruh umat manusia bersatu, karena tauhid merupakan ruhnya Islam. Kesempurnaan syariat Islam telah terjadi di masa dan di tangan Rasulullah SAW, empat belas abad yang silam. Namun menurut pemahaman Ahmadiyah kesempurnaan penyebaran syariat Islam, seperti yang diisyaratkan oleh Allah Ta'ala dan Rasulullah SAW, adalah pada masa dan di tangan tokoh yang dijanjikan sebagai masih mau'ud dan imam Mahdi, yaitu Mirza Ghulam Ahmad.
Ayat lainnya, "Huwallazii ba'atsa fil-ummiyyina rasulanm-minhum yatluw alaiihim aayaatihii wayuzakkiihim wayu'allimuhumul-kitaaba wal-hikmah, wain kaanuw min-qoblu lafii dholalinm-mubiin. Wa'aakhoriina minhum lammaa yalhaqquw bihim wahuwal-aziizul hakiim". ("Dialah [Allah] yang telah mengutus di tengah-tengah bangsa yang buta huruf seorang Rasul dari antara mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah, walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata. Dan Dia akan membangkitkannya di tengah-tengah suatu golongan lain dari antara mereka, yang belum pernah bergabung dengan mereka. Dan, Dia-lah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana." (Q.S.Al-Jumu'ah:3-4).
Ayat ini mengisyaratkan pada kebangkitan rohaniah Rasulullah SAW (the second spiritual advent) dalam wujud seseorang yang menyatu sepenuhnya dengan beliau. Juga merupakan cerminan rohaniah atau bayangan sempurna dari Rasulullah SAW, namun belum pernah tergabung dalam para pengikut semasa beliau hidup. Isyarat di dalam ayat ini dan di dalam hadis Nabi SAW, yang termasyhur diutusnya Rasulullah SAW sendiri untuk kedua kali dalam wujud masih mau'ud di akhir zaman, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. (www.ahmadiyyah:latar belakang berdirinya ahmadiyyah)
Keyakinan pengikut Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dipertegas dengan pengakuan Mirza sendiri. Pada tahun 1879 Mirza Ghulam Ahmad menulis buku Braheen Ahmadiyya, di dalamnya ditegaskan bahwa ia menerima wahyu dari Tuhan:"Kamu itu nabi, kamu itu nabi!" dan diperintahkan mengambil bai'at" (halaman 70). Ia pernah menyatakan bahwa "Akulah (Mirza Ghulam) yang dimaksud dalam firman Allah: 'Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (Q.S al-Anbiyak:107). Setelah Mirza meninggal, anaknya (Basyir Ahmad) melanjutkan pengakuan-pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, seperti memahami ayat, "...Dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, namanya Ahmad" (Q.S al-Shaf:6). Karena Nabi Allah bernama Muhammad dan bukanlah Ahmad maka yang dimaksud ayat tersebut adalah Mirza Ghulam Ahmad yang menjadi Rasul setelah Muhammad SAW.
Sekalipun kelompok Ahmadiyah membela diri terhadap kesamaan ajarannya dengan ajaran Islam namun interpretasi mereka sebenarnya berbeda. Misalnya bacaan syahadat "Asyhadu anlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah" dipahami sebagai "Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan (Mirza Ghulam Ahmad) adalah juga Muhammad dan Rasul Allah". Pengakuan kesamaan Muhammad dengan dirinya ini ditegaskan Mirza Ghulam Ahmad dalam bukunya (Memperbaiki Kesalahan [terjmh]:1993): " Allah SWT telah memberikan nama Muhammad dan Ahmad kepadaku, dan menyatakan aku wujud beliau juga" (h.16-17), "...Dalam hal ini wujudku tidak ada, yang ada hanyalah Muhammad SAW, dan itulah sebabnya aku dinamakan Muhammad dan Ahmad (h.25). "Aku adalah penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad SAW dan aku adalah Muhammad dan Ahmad sebagai refleksi (DDII:2008 tentang Tazkirah: Hakikatul Wahyu, h. 72)
Keyakinan kedua kelompok Ahmadiyah, bahwa Mirza Ghulam Ahmad menerima wahyu dari Allah, yang banyak termuat dalam bukunya tazkirah. Dalam lembaran asli kitab tersebut diawali dengan tadzkirah ya'ni wahyu muqaddas, artinya tadzkirah adalah wahyu yang suci. Mirza Ghulam berkata: "Maka barangsiapa yang tidak percaya pada wahyu yang diterima oleh imam yang dijanjikan (Ghulam Ahmad), maka sungguh ia telah sesat luar biasa, dan ia akan mati dalam kematian jahiliyah, dan ia mengutamakan keraguan atas keyakinan"
Interpretasi Ahmadiyah tersebut bertentangan dengan dalil-dalil yang kuat dalam agama Islam. Muhammad SAW merupakan nabi terakhir dan penutup, telah ditegaskan dengan sabdanya: "Tidak akan terjadi kiamat sehingga muncul tiga puluh dajjal (pendusta); semuanya mengaku bahwa dirinya adalah utusan Allah, aku adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi lagi sesudahku (H.R Abu daud dan Tirmidzi). Sedangkan kitab Tadzkirah sebenarnya berisi pengalaman spritual seorang manusia yang mencari kebenaran hakiki dalam hidupnya. Pengalaman-pengalaman ini dituliskan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Ternyata hasil lembaran tulisan ini dikumpulkan dan dibukukan oleh pengikutnya tahun 1935 (jarak 27 tahun setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal dunia tahun 1908). (Inilah Ahmadiyyah:Dewan Dakwah Islamiyah Indnesia:2008).
Fatwa Pelarangan vs Pelanggaran HAM
MUI dalam rakernas November 2007 menetapkan salah satu kriteria aliran sesat adalah "mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi yang terakhir. Dengan kriteria ini maka MUI mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah termasuk ke dalam aliran sesat, sebab mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi. Ahmadiyah juga mempunyai kitab suci sendiri di samping al-quran, yaitu Tazkirah, yang isinya banyak berupa "pelintiran" dari ayat-ayat al-Quran. Fatwa seperti ini juga pernah dikeluarkan MUI tahun 1980 dan 2005 yang menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Keresahan MUI ini juga didasari dengan statemen Khalifah Ahmadiyah ke-4 yang berkunjung ke Indonesia tahuan 2000, yang menyatakan bahwa, "Indonesia pada akhir abad baru ini akan menjadi negara Ahmadiyah terbesar di dunia. (DDII:2008). Dunia internasional pun sebenarnya juga mengecam aliran Ahmadiyah dengan larangan memasuki tanah haram dan tidak boleh melaksanakan ibadah haji ke Baitullah (MetroTV, 19 April 2008).
Pertengahan April 2008, melalui rekomendasi Bekorpakem (Badan Kordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) meminta agar dibuat surat keputusan bersama antara Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri agar memberi peringatan keras dan menghentikan aliran kepercayaan ini, yang nantinya menjadi pertimbangan kepada Presiden Republik Indonesia membubarkan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi aliran terlarang. Mekanisme seperti ini tercantum dalam UU PNPS (Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama) tahun 1965 pasal 1 dan 2.
Menggunakan isu Hak Asasi Manusia (HAM), serta menuntut pembubaran Bakorpakem serta Majelis Ulama Indonesia sebenarnya sebuah kesalahan. Karena lembaga MUI dan Bakorpakem berperan sebagai lembaga dalam sebuah sistem yang menjaga kualitas beragama masyarakat Indonesia. Universalitas HAM disandarkan kepada standar nilai, maka tidak boleh pula menghancurkan standar nilai yang sama pada sistem pemeliharaan kesuciaan suatu agama. Ajaran Islam memiliki standar kesucian yang tertuju pada enam rukun iman dan lima rukun Islam. Standar ini menjadi keyakinan teguh sebagai prinsip beragama yang didasarkan kepada wahyu yang suci. Membandingkan standar kesucian beragama tersebut dengan standar nilai HAM jelas tidak sebanding. Menggunakan dalih berbedanya penafsiran, tetapi sama dari substansi, tidak bisa dibenarkan. Karena hak penafsiran hanya berlaku dalam kawasan zanni dalalah (dalil yang masih meragukan), dan tidak berlaku dalam kawasan qath'i dalalah (petunjuk yang telah pasti). Eksistensi Muhammad sebagai nabi terakhir, dan tidak ada manusia yang mendapatkan wahyu kecuali nabi adalah qath'i dalalah.
1 komentar:
lembaga-lembaga HAM di dunia yg melindungi para penganut aliran-aliran sesat tsb didukung oleh negara-negara kafir. mengapa dihebohkan sebagai pelanggaran ham? karena itu adalah skenario politik busuk para musuh-musuh Allah untuk menghancurkan islam.
Posting Komentar