Sabtu, 11 Februari 2012

Penguatan karakter Melalui Revitalisasi Pendidikan Agama



Penanaman Karakter sejak usia dini
Abstrak
Bangsa Indonesia tengah menghadapi krisis nilai dan karakter.  Bangsa yang selama ini dikenal ramah dan kekeluargaan berubah menjadi garang dan individual.  Pendidikan yang dilaksanakan tidak serta merta menjadikan bangsa yang terdidik, bahkan sebaliknya pendidikan seolah tak memberi arti terhadap pembentukan karakter anak bangsa. Undang-undang Sisdiknas 20/2003 menegaskan perubahan paradigma pendidikan Indonesia dari transfer ilmu dan kecerdasan, kepada nilai-nilai luhur yang berkarakter.  Tentunya proses pendidikan yang dilaksanakan harus mengarah kepada tujuan yang dimaksud undang-undang tersebut.  Pendidikan agama merupakan pilar utama pembentukan karakter bangsa, sehingga dijadikan sebagai muatan wajib di setiap tingkat satuan pendidikan termasuk pendidikan anak usia dini. Penanaman nilai agama selama ini hasilnya kurang memberi kontribusi terhadap pembentukan karakter disebabkan berbagai problematika yang mengitarinya. Untuk mendapatkan hasil maksimal diperlukan upaya pemecahan masalah dilanjutkan dengan revitalisasi penanaman nilai agama baik dalam setiap pembelajaran agama dan kehidupan beragama.

A.  Kondisi Bangsa Krisis Karakter
          Bangsa Indonesia saat ini mengalami perubahan prilaku yang menyimpang. Norma dan nilai seolah menjadi sekedar literatur kepustakaan masyarakat yang berbudi luhur. Sikap merasa agung sebagai bangsa yang punya kekayaan nilai, tapi miskin bukti saat bersikap dan berbuat.  Merasa bangga saat dipuji sebagai masyarakat heterogen, namun konflik kian meruyak. Merasa percaya diri dengan budaya beragam, namun tidak menghargai lagi semangat perbedaan.
Memahami gejala-gejala sosial dan persoalan masyarakat saat ini membuat perasaan sedih dan pilu. Negara makmur yang dibangun dengan kekayaan alam anugrah Tuhan, dinobatkan sebagai negara dengan masyarakat berpredikat korup di dunia. Negara yang dikenal punya kekayaan nilai heterogenitas, mulai terjebak dengan konflik dan membanggakan kelompok.  Negara yang dikenal santun dan ramah, sedang berubah menjadi brutal dan bringas.
Banyak lagi perilaku menyimpang tersebut dijumpai di tengah masyarakat, seperti yang disampaikan Ahmad Mubarok, Ditjen Pendidikan Tinggi DIKNAS dalam sarasehan pendidikan karakter (Jakarta, 10 April 2010), bahwa kalau dahulu pejabat negara itu terhormat dan dihormati, namun sekarang hampir semua pejabat publik, bahkan presiden dan wakil presiden menjadi bahan olok-olok demonstran di jalanan. Lapisan masyarakat yang semestinya terhormat (berkarakter) pun banyak yang bertindak anarkis.  Tidak sebatas kalangan masyarakat awam saja yang anarkis, tapi juga antar kelompok sosial, lembaga sosial, jalanan hingga senayan.
Indonesia dikenal sebagai masyarakat kaya nilai, baik nilai yang lahir melalui budaya lokal ataupun nilai universal (seperti agama).  Kedua nilai tersebut secara formal dilembagakan dalam bentuk mata pelajaran wajib di sekolah seluruh tingkat satuan pendidikan hingga perguruan tinggi. Diharapkan dengan pelembagaan tersebut, nilai yang akan muncul dapat didesain secara sistematis, serta hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan. Seperti halnya pendidikan agama, pada tingkat usia dini dikenal dengan penanaman nilai motal dan agama.
Sepanjang sejarah berbangsa, pendidikan agama terbukti memberi kontribusi yang berharga, bahkan hadirnya Indonesia  sebagai sebuah negara didorong oleh spirit agama, ditegakkan dengan prinsip dan nilai agama, serta budaya berbangsa merujuk kepada nilai-nilai pendidikan  agama.  Nilai dan norma agama masuk dan berperan membawa perubahan dalam setiap detak kehidupan bangsa Indonesia.  Terjadi proses kontribusi, koreksi, serta evaluasi sepanjang waktu dari nilai dan norma agama, khususnya Islam, dalam kehidupan berbangsa. Secara prinsip, dapat dinyatakan bahwa pendidikan agama terbukti telah memberi pengaruh besar dalam pembentukan budaya berbangsa, termasuk karakter.
Namun, dengan tergerusnya nilai dan norma saat ini, fungsi dan peranan pendidikan agama mulai dipertanyakan. Apakah pendidikan agama yang ada selama ini tidak relevan lagi dengan perkembangan masyarakat serta tantangan budaya global. Sekalipun pendidikan agama dimasukkan sebagai mata pelajaran wajib mulai dari pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi, namun sepertinya tidak memberi arti banyak kepada pembentukan karakter. Ataukah, diperlukan penyesuaian model pendidikan agama yang ada saat ini, sehingga mampu berkontribusi dalam membentuk karakter anak bangsa. Dari hal inilah, penulis mengawali tawaran penguatan karakter anak bangsa melalui revitalisasi pendidikan agama dan kehidupan beragama sebagai solusi alternatif.

B. Perubahan Paradigma Tujuan Pendidikan Nasional
Pendidikan di Indonesia sebenarnya telah mengalami perubahan paradigma, seiring dengan perubahan dinamika kebutuhan masyarakat berbangsa setelah reformasi.  Paradigma baru mulai ditegaskan seiring dengan lahirnya Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003.  Dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 UUSPN no 20 tahun 2003).
Tujuan pendidikan nasional tersebut mengharapkan hadirnya manusia yang memiliki nilai iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa(religius),  kemudian berilmu dan berbagai kecakapan pribadi dan sosial.  Dipahami bahwa nilai-nilai ketuhanan menjadi fondasi bagi peserta didik, sedangkan bangunan di atas fondasi itu barulah diisi dengan ilmu dan nilai-nilai personal yang unggul. Filosofi nilai religius menjawab berbagai krisis selama ini, dimana pendidikan berhasil menjadikan manusia cerdas tetapi berjiwa miskin, punya IQ yang tinggi tapi berjiwa kasar, berwawasan luas tetapi berjiwa kerdil.
Tujuan pendidikan dalam UUSPN tersebut memberi payung hukum yang kokoh terhadap pentingnya agama pada tataran pendidikan formal. Dijelaskan bahwa Pendidikan agama diberikan pada setiap satuan pendidikan dan diberikan sekurang-kurangnya dalam bentuk mata pelajaran (pasal 4, ayat 1). Adapun tujuan pendidikan agama yang lebih spesifik, yakni berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang mengimbangi penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.  Dengan demikian, pendidikan agama diharapkan akan mampu membangun watak dan kultur bangsa yang religius, tidak semata dalam bentuk ritus dan peribadatan tapi justru refleksi spirit keagamaan dalam seluruh perbuatan professional dan sosial masyarakat Indonesia.

C. Memahami Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Menurut Suyanto, terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal(, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
          Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
 Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik. (www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html)

D. Pendidikan Agama sebagai Sumber Pendidikan Karakter
Dalam tinjauan pendidikan secara umum, peranan pendidikan agama memberi kontribusi dalam pengembangan sumber daya manusia,  yaitu sebagai suatu proses pengembangan fitrah sebagai makhluk Tuhan yang diberi potensi sempurna. 
Secara umum, fungsi pendidikan merupakan usaha pengalihan (transfer), yaitu alih pengetahuan (transfer of knowledge), alih metode (transfer of methodology), dan alih nilai (transfer of value).
          Fungsi pendidikan sebagai alih pengetahuan dapat dilihat dari teori human capital, dimana pendidikan tidak dipandang sebagai barang konsumsi belaka tetapi sebagai investasi jangka panjang.  Pemahaman tentang ajaran agama yang luas dan komprehensif merupakan suatu investasi yang sangat berharga bagi mahasiswa untuk meningatkan prestasi belajar, beramal dan beribadah di masa depan yang kebih baik
          Fungsi pendidikan sebagai alih metode sangat berperan terutama dalam kemampuan penerapan ilmu dan teknologi.  Penguasaan pada technological sciences lebih merupakan proses transfer of methodology dari pada transfer of knowledge.
          Fungsi pendidikan sebagai alih nilai memiliki tiga sasaran (Syahidin, 2006:7). Pertama, pendidikan sebagai alat untuk membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan antara kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik.  Dalam hal ini dapat dipahami bahwa pendidikan dapat menghasilkan manusia-manusia yang berkepribadian utuh.  Kedua, dalam sistem nilai yang dilahirkan juga termasuk nilai-nilai keimanan dan ketakwaaan akan terpancar pada ketundukan manusia untuk melaksanakan ibadah kepada Tuhan-Nya menurut keyakinan masing-masing, berakhlak mulia, serta senantiasa menjaga keharmonisan hubungan dengan sesama makhluk.  Ketiga, dalam alih nilai tersebut juga ditransformasikan nilai-nilai yang mendukung proses industrialisasi dan penerapan teknologi, seperti penghargaan kepada waktu, disiplin, etos kerja, kemandirian, kewirausahaan dan sebagainya.  Seperti diketahui bahwa era industrialisasi yang berorientasi pada penggunaan teknologi memerlukan sikap dan pola fikir yang menunjang ke arah pemanfaatan dan penerapannya secara seimbang.  Oleh sebab itu nilai-nilai IMTAK perlu dijadikan landasan dalam pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
          Dari uraian di atas secara umum dipahami pendidikan agama memberi peran dan fungsi dalam proses pembinaan pribadi yang beriman dan bertakwa, menguasai teknologi dan berbudaya.
E. Problematika pendidikan Agama
Dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional dengan paradigma baru, posisi pendidikan agama diharapkan berada pada garda terdepan menghasilkan masyarakat yang berkarakter.  Dari segi fungsi pendidikan sebagai pengalihan nilai, maka pendidikan agama dijadikan sebagai mata pelajaran yang memuat kebutuhan penanaman nilai tersebut.  Implikasinya, pendidikan agama secara formal ditegaskan sebagai mata pelajaran wajib di setiap satuan pendidikan yang ada di Indonesia.   
Sekalipun payung hukumnya sudah kuat, dan fungsinya yang signifikan sebagai sarana mentransfer nilai, namun di dalam pelaksanaannya, Pendidikan Agama masih menunjukkan berbagai permasalahan yang kurang menyenangkan. Permasalahan tersebut menjadikan hambatan pencapaian tujuan nilai dan pembentukan karakter.
Permasalahan pendidikan agama (Abdul Madjid:2004: iii),  dikemukakan oleh Dirjen Kelembagaan Agama Islam Kementrian Agama, sebagai berikut:
Pertama, Islam diajarkan lebih pada hafalan.
Pendidikan agama Islam penuh dengan nilai-nilai yang bersifat praktis, yang langsung dapat dilaksanakan untuk kehidupan sehari-hari.  Jika pendidikan agama ditekankan kepada hafalan, maka pendidikan agama hanya sebatas alih ilmu pengetahuan, tapi hampa dari alih nilai.
Kedua, pendidikan agama lebih ditekankan pada hubungan formalitas antara hamba dengan Tuhannya.  Pola hubungan seperti ini menjadikan agama hanya sebagai label formal, bukan nilai bertuhan, atau fungsi tibal balik antara Tuhan dengan hamba.
Ketiga, penalaran dan argumentasi berfikir untuk masalah-masalah keagamaan kurang mendapat perhatian. Persoalan agama semakin berkembang seiring perkembangan peradaban dan budaya manusia.  Pembelajaran dengan menggunakan argumentasi berfikir bermanfaat menjadikan pendidikan agama sebagai alat efektif penyelesai masalah kehidupan manusia.
Keempat, penghayatan nilai-nilai agama kurang mendapat perhatian. Nilai-nilai agama sangat bermanfaat memberi rasa.  Rasa yang dipupuk akan melembaga menjadi karakter.
Kelima, menatap lingkungan untuk kemudian memasukkan nilai Islam sangat kurang mendapat perhatian.  Memahami persoalan kehidupan sehari-hari sangatlah penting,  sebab menjadikan pendidikan agama sebagi pembelajaran kontekstual serta respon dengan perkembangan
Keenam, metode pembelajaran agama, khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai Islam kurang mendapatkan penggarapan.  Penggunaan metode terkait dengan karakteristik materi yang dibahas, situasi peserta didik, fasilitas yang tersedia, dan sebagainya. Penggunaan metode yang variatif dan menarik akan mampu menggarap nilai-nilai agama.
Ketujuh, ukuran keberhasilan pendidikan agama masih formalitas.  Hasil pendidikan agama haruslah memuat tiga kompetensi, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.  Ukuran keberhasilan formalitas disimbolkan dengan kemampuan hafalan dan keterampilan verbalistik.
Kedelapan, pendidikan agama belum mampu menjadi landasan kemajuan kesuksesan untuk mata pelajaran lain. Pendidikan yang baik bukan berdiri sendiri, terlepas dari yang lainnya.  Namun pendidikan sukses itu apabila terkait dengan berbagai pendidikan lainnya, sehingga diperoleh hubungan serta keutuhan sebuah bangunan ilmu, tanpa terpilah-pilah, tetapi saling menguatkan.
Kesembilan, pendidikan agama belum dijadikan fondasi pendidikan karakter peserta didik dalam perilaku keseharian. Hal ini didorong oleh pemahaman bahwa pendidikan agama hanya sebuah ilmu kepustakaan verbal dan ritual, serta minimnya penggarapan fungsi dan nilai agama yang mampu membentuk karakter.   

F. Revitalisasi Pendidikan Agama dan kehidupan Beragama
Untuk menyelesaikan problematika pendidikan agama dibutuhkan revitalisasi pendidikan agama dan kehidupan beragama masyarakat Indonesia yang ada saat ini.  Karena pendidikan agama dalam sejarah Indonesia telah terbukti menjadi sumber nilai pembentukan karakter bangsa. Dimulai sejak masuknya Islam abad ke-13, nilai agama menyatu dengan budaya masyarakat lokal yang ada di Indonesia kala itu, kemudian membentuk sebuah bangsa dan dasar-dasarnya, sampai mempertahankan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang besar hingga sekarang.
Revitalisasi pertama, perubahan paradigma pendidikan agama dalam dunia pendidikan. Perubahan itu seiring dengan terjadinya berbagai perubahan dinamika masyarakat,  yang punya implikasi langsung terhadap perubahan paradigma pendidikan.  Antara lain perubahan formal akademik menjadi pembudayaan nilai-nilai agama, pendidikan yang menekankan normatif menjadi sosiologis, serta pendidikan yang abstrak menjadi pendidikan agama kongkrit, posisi agama dijadikan sebagai solusi dalam kehidupan  (Syahidin, 2006:18).
Revitalisasi kedua, pembaharuan proses pembelajaran.  Dalam hal ini perubahan strategi teaching menjadi learning, paradigma mengajar menjadi paradigma belajar, proses ekspose verbal menjadi layanan professional. Menurut Sukmana (Abdul Majid: 2004,46), ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk pembaharuan proses tersebut. Pertama, berusaha menjadi setiap materi pelajaran sebagai bahan pembicaraan yang menarik; kedua, memberikan contoh tokoh-tokoh ilmuwan yang sukses melalui pengalaman ilmu dan agama; ketiga, melakukan asosiasi (menghubungkan pelajaran baru dengan pelajaran lama); keempat, mengikuti langkah-langkah strategis sesuai dengan prinsip-prinsip didaktis; kelima, membuat nama-nama menarik sebagai jembatan ingatan; keenam, menciptakan suasana kelas yang menyenangkan; ketujuh, menjadikan guru sebagai media dan siswa sebagai model dalam pembelajaran.
Revitalisasi ketiga, melekatnya nilai-nilai agama pada setiap mata disiplin ilmu.  Pendekatan ini pada dasarnya lebih substil, namun mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan nilai-nilai keagamaan pada anak didik (Hasbullah:2001, 182). 
Misalnya ada dimensi nilai yang terkandung dalam MIPA, diantaranya: siswa dapat belajar untuk lebih mencintai lingkungannya, sadar akan keuntungan MIPA bagi kehidupan manusia, dan sadar pula akan implikasi dari penerapan MIPA jika disalahgunakan untuk kepentingan yang destruktif.  Melalui pendidikan MIPA juga, siswa dapat lebih memahami betapa agung dan perkasanya Allah SWT, yang menciptakan alam semesta beserta isinya dalam keadaan yang teratur, sesuai dengan sunnatullah.  Anak didik juga akan menyadari bahwa apa yang terjadi di alam semesta ini pada dasarnya berasal dari Yang Maha Satu, Allah SWT. 
Dengan demikian pendidikan MIPA dapat menjadi wawasan untuk pendidikan nilai-nilai agama, meskipun tentu saja banyak hambatan yang dihadapi, terutama menyangkut kompetensi para pendidiknya, baik menyangkut penguasaan metode, maupun tuntutan seorang guru yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang kokoh, disertai kemauannya untuk mengembangkan nilai-nilai iman dan takwa tersebut kepada para siswanya.
Revitalisasi keempat, melakukan berbagai inovasi pendidikan terkait dengan pendidikan agama dan keagamaan, baik formal maupun informal.  Inovasi pendidikan menjadi sangat penting karena beberapa faktor (Hasbullah:2001, 189): pertama, terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga memberi pengaruh kepada kehidupan sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan kebudayaan bangsa Indonesia. Diakui bahwa sistem pendidikan yang ada dan dilaksanakan saat ini belum mampu mengikuti dan mengendalikan kemajuan-kemajuan tersebut, sehingga pendidikan belum mampu menghasilkan tenaga yang terampil, kreatif dan aktif sesuai dengan tuntutan dan keinginan masyarakat. Faktor kedua, pertambahan penduduk yang pesat tentunya menuntut adanya perubahan-perubahan sekaligus betambahnya keinginan masyarakat untuk emndapatkan pendidikan yang kian baik, dari segi kuantitas dan kualitas lembaga pendidikan.  Faktor ketiga, meningkatnya animo masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, karena munculnya berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapi oleh dunia pendidikan dewasa ini. Faktor keempat, menurunnya kualitas pendidikan, karena tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menuntut adanya sejumlah perubahan.  Faktor kelima, kurang adanya relevani antara pendidikan dan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun. Faktor keenam, belum mekarnya alat organisasi yang efektif, serta belum tumbuhnya suasana yang subur dalam masyarakat untuk mengadakan perubahan-perubahan kontekstual dan masa depan.
Revitalisasi kelima, menumbuhkan nilai-nilai religius lokal. Masyarakat Indonesia sebelum menjadi sebuah negara, telah terbiasa hidup dengan nilai-nilai lokal yang didasari kepada agama.  Hanya saja perkembangan nilai-nilai tersebut mengalami pasang surut seiring dengan berbagai tantangan dan hambatannya.  Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan sebagai modal dasar yang dikebangkan berdasarkan kebutuhan saat ini.
Dalam prakteknya, semenjak digulirkannya otonomi daerah, peluang tumbuhnya nilai-nilai religius lokal menjadi lebih baik.  Sehingga beberapa daerah mulai mengangkat kembali nilai-nilai sebagai basis pembentukan karakter yang lebih membumi.  Perkembangan yang cukup pesat salah satunya terdapat di Sumatera Barat yang terkenal dengan tradisi adat basandikan syara’ syara’ basandikan kitabullah.  Nilai religius lokal yang ada selama ini dipakai dan dikembangkan dalam bentuk perwujudan nilai-nilai baru yang lebih kontekstual.
Pemerintah dan masyarakat di Sumatera Barat melakukan berbagai revitalisai dalam rangka menumbuhkembangkan nilai-nilai lokal mereka.  Nilai-nilai lokal tersebut diantaranya: selama bulan Ramadhan para siswa disekolahkan di mesjid/surau (bagi muslim) dan pemahaman kebaktian di gereja (bagi non muslim), kegiatan lomba asmaul husna dan pemahamannya setiap tahun, didirikannya banyak sekolah kantin kejujuran, pencanangan kampus intelektual dan religius (Universitas Negeri Padang), Peraturan Daerah berpakaian muslim dan muslimah di seluruh kabupaten dan kota, serta visi pendidikan berbasis aqidah sebagai ciri khas pendidikan di kota Bukittinggi.
          Revitalisasi pendidikan agama dan kehidupan beragama hakikatnya merupakan penafsiran ulang (re-interpretasi), pengembangan baru (developmental), penegasan terhadap apa yang sudah ada (legitimasi).  Kuncinya adalah, masyarakat akan selalu mengalami perubahan termasuk nilai-nilai yang dipakai, sedangkan pendidikan adalah alat bantu mengiringi perubahan tersebut dan  revitalisasi menjadi rumus yang dapat menyesuaikan pendidikan dengan perubahan masyarakat.
G. Penutup
Bangsa Indonesia memiliki kekayaan nilai yang telah tumbuh di dalam masyarakat selama ini.  Diantara nilai tersebut diperoleh melalui pendidikan agama dan kehidupan beragama dalam masyarakat. Potret buram masyarakat saat ini menunjukkan gambaran tidak suksesnya pendidikan agama dan kehidupan beragama pada masyarakat Indonesia.  Untuk itu diperlukan revitalisasi sebagai langkah menjadikan pendidikan agama bernilai dalam upaya memperkuat karakter anak bangsa Indonesia.

Referensi:
Hasbullah, Dasar-Dasar Pendidikan, Jakarta:Rajawali Pers, 2001
Mubarok, Ahmad. Membangun Budaya Masyarakat Berkarakter. Makalah, Jakarta:2010
Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional. Jakarta: Adikarya, 2003
Majid, Abdul. Pendidikan Agama Berbasis Kompetensi, Jakarta: Rosdakarya,2004.
Syahidin, Perubahan Paradigma dan Metodologi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, makalah. Padang: Adpisi. 2006

www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html, akses tgl 10 nov 2010 jam 22.35 wib.
 
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Karakter Anak Usia Dini di FKIP UNRAM, 25 Mei 2011.  Kerjasama PGPAUD FIP UNP dengan FKIP UNRAM.

Tidak ada komentar: