Ulasan Artikel: by Syahrul Ismet
Judul: Pendidikan Budaya dan Karakter Melalui TIK
Penulis: Wijaya Kusumah
TIK Berkarakter |
Bapak Wijaya Kusumah adalah pendidik di Labschool
UNJ yang memiliki segudang pengalaman tentang pembentukan otak dan watak. Beliau telah membuktikan bahwa pendidikan TIK
yang dibarengi dengan watak akan menciptakan generasi unggul yang disebutnya
sebagai digital native. Sebagai guru
yang diberi amanah untuk mengemban nilai, pak Wijaya aktif sebagai blogger, ide
dan gagasan pikirannya banyak tersebar di dunia maya, lebih khusus lagi setelah
mengenal situs kompas.com bagian kompasiana yang membuatnya jatuh cinta dan
banyak menulis di ruang tersebut. Juara
satu penulisan blog dalam pengembangan bahasa pernah beliau raih, serta menjadi
guru berprestasi di bidang penelitian tindakan kelas.
Antara otak dan watak perlu diselaraskan agar
mendapatkan generasi yang seimbang.
Dalam bahasa Bapak Wijaya Kusuma otak dan watak tersebut dikenal dengan
Karakter. Karakter tersebut bukan hanya
bisa diberikan oleh mata pelajaran bernuansa nilai, tetapi harus juga diberikan
dalam pembelajaran TIK. Maka semua guru
TIK harus memberikan pembelajaran dengan mengacu kepada nila -nilai dasar karakter yang telah dirumuskan oleh Depdikbud, yaitu: bertakwa
(religius), tanggung jawab
(responsible), disiplin (
dicipline), jujur (Honest), sopan (polite), peduli (care), kerja keras (hard
work), sikap yang baik
(Good Attitude),toleransi
(tolerate), kreatif (Creative), mandiri (independent), rasa ingin tahu (curiosity), semangat kebangsaan ( Nationality Spirit), menghargai (Respect), bersahabat ( Friendly), cinta damai (Peace Full),
Menurut Bapak Wijaya, Pendidikan haruslah didasari
moral dan agama, inilah akar dari pohon pendidikan tersebut. Dalam hal pembelajaran TIK tentunya dasar ini
harus menjadi acuan, bagi guru dan para pengguna TIK. Guru memberi keteladanan, kejujuran, budaya
malu, dan nilai-nulai karakter lainnya. Menarik
apa yang ditulis Bapak Wijaya Kusumah, bahwa pendidikan TIK berbasis nilai
moral dan agama bakal menghasilkan pendidikan yang paripurna dunia akhirat.
Pendekatan seperti ini harus menjaadi isu besar yang dikembangkan para pendidik,
dan Pak Wijaya mencona mengelaborasinya secara wujud nyata dalam bentuk sikap
guru/pembimbing TIK, mencerdaskan otak dan menanam watak, hasilnya pribadi
berkarakter..
Sumber Artikel
Wijaya Kusumah |
Penulis: Wijaya Kusumah
http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/27/pendidikan-budaya-dan-karakter-melalui-tik/
Pendidikan
sangat diperlukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan pendidikan bangsa
ini akan cerdas dalam berpikir, dan bijak dalam bertindak. Agar cerdas dalam
berpikir, dan bertindak diperlukan pendidikan budaya dan karakter. Dengan
begitu moral dan agama mereka akan terjaga dalam pohon pendidikan. Dalam pohon
pendidikan itu, akan terlihat mereka berakar moral dan agama, berbatang ilmu
pengetahuan, beranting amal perbuatan, berdaun tali silaturahmi, dan berbuah
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Budaya adalah
hasil karsa, dan karya manusia yang dapat dinikmati dan dihargai. Dia tumbuh
dalam kearifan lokal masyarakat kita. Sedangkan karakter adalah perangai atau
tingkah laku yang menjadi watak manusia dalam berinteraksi kepada sesama. Oleh
karena itu pendidikan budaya dan karakter harus diberikan kepada para generasi
muda yang telah melek Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Generasi muda
yang bukan hanya cerdas OTAK,
tetapi juga WATAK. Generasi ini biasa disebut C-Generation.
Sebuah generasi yang benar-benar telah melek TIK, dan mampu memanfaatkannya.
C-Generation |
C-Generation
terlahir dari dunia digital yang terus berkembang. Oleh karena itu para
penduduknya disebut digital native. Dalam penduduk digital
native, aktivitas belajar C-Generation tidak lagi menggunakan cara-cara
konvensional. Mereka sudah terbiasa dengan cara-cara modern yang mengikuti
perkembangan teknologi web 3.0 yang sebentar lagi akan kita gunakan di
negeri ini. Belajar tidak lagi di dalam kelas, dan bertatap muka secara
langsung, tetapi bisa dimana saja, dan kapan saja. Di sinilah diperlukan
pendidikan budaya dan karakter. Dengan begitu etika atau budi pekerti tetap
terjaga.
Pendidikan
budaya dan karakter diberikan dengan cara-cara alamiah. Dia tumbuh dari
generasi yang telah melek TIK. Diperlukan peran TIK yang begitu besar dalam
proses pembelajarannya sehingga budaya, dan karakter itu berubah menjadi
cara-cara ilmiah yang membuat para pendidik atau guru tak bisa lepas dari 5K.
Konvergensi, Kontekstual, Kolaborasi, Konektivitas, dan Konten kreatif jelas
akan menguasai dunia di abad 21 ini.
Arus deras 5K
akan dihadapi oleh kita yang mendapat julukan “digital imigran” (pendatang
baru dalam dunia digital). Kita harus belajar teknologi menuju masyarakat
berpengetahuan. Dibutuhkan pendidikan budaya dan karakter unggul untuk
menghadapinya. Kita pun harus belajar sepanjang hayat.
TIK begitu
cepat sekali perkembangannya, dan telah membuat sendi-sendi kehidupan
masyarakat terpengaruh karenanya. Semua hal yang bersangkut paut dengan hajat
hidup orang banyak akan menggunakan TIK untuk memudahkannya. TIK menjadi sebuah
alat bantu manusia yang terus menerus melayani manusia dari mulai bangun tidur
hingga mau tertidur lagi.
Dari sini
sebuah generasi baru jelas akan muncul. Generasi baru yang benar-benar melek
TIK, dan dekat dengan 5K. Mereka sudah terbiasa saling terkoneksi untuk
berbagi. Berbagi pengetahuan, dan sharing pengalaman. Terjadi
konvergensi antar mereka. Merekapun saling berkolaborasi dalam menemukan
konten-konten kreatif yang pada akhirnya membuat mereka bersinggungan dengan
dunia nyata atau kontekstual. Di situlah era web 3.0 berperan. Komunikasi
dengan mudah dilakukan dalam jarak yang jauh, dan duniapun serasa berada dalam
gengaman tangan. Tembok pemisah antar negara seolah tiada lagi.
Pendidikan
budaya, dan karakter tentu tak luput dari perhatian kita. Sebab budaya dan
karakter harus diberikan kepada para C-Generation agar meraka tak salah arah.
Peran TIK jelas sangatlah penting, dan para pendidik harus mampu menjadi
guide atau pemandu dalam bidang TIK agar budaya dan karakter
bangsa dapat terjaga.
Menurut Dr.
Onno W. Purbo, Pemanfaatan TIK yang paling tepat filosofi-nya sederhana,
yaitu:
- Harus jadi produsen, menghasilkan sesuatu
- Harus menghasilkan sesuatu yang cocok dengan kebutuhan pembaca/masyarakat
Namun, untuk
bisa mencapai 2 hal tersebut di atas, para pendidik dan peserta didik
- harus jadi konsumen yang baik, banyak baca, kritis thd yg di baca (wawasan luas)
- harus banyak berdiskusi (sensitif terhadap kebutuhan pembaca / masyarakat)
Pada
dasarnya, TIK cuma alat bantu tidak lebih. Dia tidak beda dengan mesin
tik, cangkul, kompor, dll semua alat bantu saja. Dibutuhkan pendidikan budaya
dan karakter agar pemanfatana alat tersebut menjadioptimal dan maksimal tanpa
harus kehilangan keraifan lokal.
Pembentukan
karakter peserta didik memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu
visi dan misi yang kuat dari sekolah dalam membangun karakter siswa. Mereka
harus mampu mengembangkan nilai-nilai dasar karakter yaitu:
Bertakwa (religius)
Tanggung jawab (responsible)
Disiplin ( dicipline)
Jujur (Honest)
Sopan (polite)
Peduli (care)
Kerja keras (hard work)
Sikap yang baik (Good Attitude)
Toleransi (tolerate)
Kreatif (Creative)
Mandiri (independent)
Rasa ingin tahu (curiosity)
Semangat kebangsaan ( Nationality Spirit)
Menghargai (Respect)
Bersahabat ( Friendly)
Cinta damai (Peace Full)
Otak+watak = Karakter |
Tanggung jawab (responsible)
Disiplin ( dicipline)
Jujur (Honest)
Sopan (polite)
Peduli (care)
Kerja keras (hard work)
Sikap yang baik (Good Attitude)
Toleransi (tolerate)
Kreatif (Creative)
Mandiri (independent)
Rasa ingin tahu (curiosity)
Semangat kebangsaan ( Nationality Spirit)
Menghargai (Respect)
Bersahabat ( Friendly)
Cinta damai (Peace Full)
Dalam
menerapkan pendidikan budaya dan karakter melalui TIK harus dipikirkan benar
dampak positif, dan negatifnya. Sebab perkembangan TIK selalu bermata dua. Di
satu sisi menguntungkan, dan sisi yang lain merugikan. Para guru harus mampu
memberikan materinya dengan cara-cara interaktif, dan membuat para peserta
didiknya menjadi kreatif. Pembelajaranpun menjadi menyenangkan. Mereka digiring
bukan hanya sebatas mencari dan memperoleh informasi, tetapi juga mampu
menciptakan informasi di internet. Mereka harus diarahkan untuk mampu menjadi
produsen pengetahuan, dan bukan hanya menjadi konsumen pengetahuan saja.
Gurupun tak terlalu dominan di kelas karena pembelajaran berpusat pada siswa.
Guru lebih sering sebagai fasilitator dan motivator pembelajaran.
Perlu juga
diingat! Budaya malu harus ada dalam karakter setiap peserta didik.
Anak-anak C-generation itu tidak diperkenankan dan masuk dalam wilayah
pornografi, dan berani menyalin hasil karya orang lain (plagat). Malu rasanya
bila para C-generation itu memanfaatkan TIK hanya untuk bersentuhan
dengan pornografi, dan melakukan plagiasi. Mereka pun jangan dibiarkan untuk
terus menerus mengkonsumsi games atau permainan online
lainnya di internet yang mengasyikkan. Kalau kita biarkan, maka kita akan
menghasilkan sebuah generasi para gamer, dan bukan programer.
Sebuah generasi yang mampu menciptakan berbagai games atau permainan yang
mengasyikkan.
Progamer sangat
kita perlukan dalam membuat konten-konten edukatif. Dengan begitu pendidikan
ini akan maju dan sejajar dengan negara lainnya. Para C-Generation itu tidak
hanya diarahkan untuk kelas operator saja tetapi menjadi programer aktif yang
membuat mereka kreatif dalam membuat program-program inovatif yang dapat
dibanggakan. Lihatlah Fahma, sosok penemu software termuda di
dunia. Dia terlahir dari anak Indonesia yang bertempat tinggal di kota Bandung.
Itulah salah satu contoh dimana pendidikan budaya, dan karakter terintegrasi
dengan TIK dalam proses pembelajarannya.
TIK Berkarakter |
Contoh yang
paling mudah dalam pendidikan karakter adalah jujur. Para guru harus
mampu menanamkan kejujuran dalam diri setiap peserta didik. Tak berkata
bohong (dusta) dan mampu berkata benar dalam segala sikap dan tingkah
lakunya. Hal itu akan dengan mudah tertangkap jelas dari facebook para
guru, bila para peserta didiknya telah berteman dengannya. Oleh karena itu
jadikan mereka sahabat agar guru dan siswa menjadi dekat. Ajaklah dialog
atau diskusi sehingga yerjalin komunikasi yang positif antara guru dan siswa.
Budaya baca
yang mulai hilang dari dunia anak-anak kita harus sudah digiatkan kembali
dengan konten-konten edukasi yang dibuat sendiri oleh para guru melalui blog
atau website sekolah. Di sinilah para guru harus mampu menulis, dan membuat
para peserta didiknya menjadi gemar membaca. Konten-konten atau materi
pelajaran itu bisa dimasukkan dalam server aplikasi MOODLE atau Blog
yang berbasis Content Management System (CMS). Di tempat itu,
para guru dapat kreatif membuat sendiri media pembelajarannya. Para guru pun
dapat membuat tes atau ujian secara online.
Para
C-Generation itu harus diarahkan bukan hanya sebagai bangsa penikmat teknologi,
tetapi harus mampu kita arahkan untuk menjadi produsen pengetahuan. Agar
bisa menjadi produsen pengetahuan, maka budaya baca dan tulis menulis harus
benar-benar dilatihkan melalui pemanfaatan TIK secara benar. Para guru pun
harus belajar ngeblog agar mampu memberikan keteladanan kepada para peserta
didiknya. Dengan ngeblog, para guru dan siswa menjadi terbiasa menulis.
TIK harus
benar-benar dimanfaatkan agar para peserta didik itu mampu mendengarkan dengan
baik, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan begitu mereka akan mampu
menyampaikan pesannya kepada khalayak ramai dan membuat diri mereka
menjadi orang hebat luar biasa karena memiliki kemampuan berbahasa secara
baik.
TIK Berkualitas |
Alangkah
indahnya bila para C-Generation itu mampu berinternet secara sehat, menyebarkan
berita dengan benar, dan mampu menceritakan pengalamannya yang mengesankan
dalam blog-blog mereka. Dengan begitu kemampuan menulis mereka pun akan terasah
dengan baik, karena sering menulis di blog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar